” Demikianlah ia termenung dan merasa patah hati duduk
jongkok sendirian di jalan utama tidak jauh dari Buddha dan membuat goresan
enam belas garis di atas tanah yang menggambarkan enam belas kejadian. Arti
dari enam belas garis itu adalah sebagai berikut:
1. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Kesempurnaan Kedermawanan dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu,
aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra
menarik garis pertama.
2. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Kesempurnaan Moralitas dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku
tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra
menarik garis kedua.
3. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Kesempurnaan Melepaskan keduniawian dalam kehidupan lampauku. Oleh
karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti
ini, Màra menarik garis ketiga.
4. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu,
aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra
menarik garis keempat.
5. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Kesempurnaan Usaha dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku
tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra
menarik garis kelima.
6. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Kesempurnaan Kesabaran dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku
tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra
menarik garis keenam.
7. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Kesempurnaan Kejujuran dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku
tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra
menarik garis ketujuh.
8. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Kesempurnaan Tekad dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku
tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra
menarik garis kedelapan.
9. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Kesempurnaan Cinta kasih dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu,
aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra
menarik garis kesembilan.
10. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Kesempurnaan Ketenangseimbangan dalam kehidupan lampauku. Oleh karena
itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini,
Màra menarik garis kesepuluh.
11. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh
pengetahuan mengenai pikiran dan kehendak makhluk-makhluk lain
(indriyaparopariyatti Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh
karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti
ini, Màra menarik garis kesebelas.
12. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh
pengetahuan mengenai sifat dan watak makhluk-makhluk lain (àsayànusaya Nàna)
yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat
disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis
kedua belas.
13. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk mencapai Welas
asih yang luar biasa (Mahàkarunàsamàpatti Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk
biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan
pikiran seperti ini, Màra menarik garis ketiga belas.
14. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh
Kemampuan untuk melakukan Keajaiban Ganda (Yamaka-Pàtihàriya Nàna) yang tidak
lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan
dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keempat belas.
15. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh
pengetahuan yang tanpa halangan (anàvarana Nàna) yang tidak lazim bagi
makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan
Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kelima belas.
16. “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak
memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh
Kemahatahuan (Sabbannuta Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa.
Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran
seperti ini, Màra menarik garis keenam belas.
Pada waktu itu, tiga putri Màra—Tanhà, Arati, dan
Ràga—melihat ke sekeliling, berpikir, “Kita tidak melihat ayah kita (Màra). Di
manakah ia sekarang?,” dan mereka melihatnya termenung berjongkok dan
menggoreskan garis-garis di atas tanah, kemudian mereka segera mendekati ayah
mereka dan bertanya, “Ayah, mengapa engkau begitu bersedih dan patah hati?”
“Putri-putriku,” jawab Màra, “Petapa Gotama ini telah lari dari kekuasaanku di
tiga alam.
Walaupun aku telah mengikutinya selama kurun waktu tujuh
tahun untuk mencari kesalahan-Nya, namun aku tidak berhasil mendapat kesempatan
sedikit pun untuk mencela-Nya. Oleh karena itulah aku begitu sedih dan patah
hati.” “Ayah, jangan khawatir. Kami akan membujuk Petapa Gotama ini dan
membawa-Nya ke hadapanmu, ayah,” janji tiga putri tersebut.
Kemudian Màra berkata, “Putriku, tidak seorang pun di dunia
ini yang mampu membujuk Petapa Gotama ini. Petapa Gotama ini memiliki keyakinan
yang sangat kokoh dan tidak tergoyahkan.” “Ayah, kami perempuan. Kami akan
menjerat-Nya dengan nafsu dan segera membawa-Nya ke hadapanmu. Jangan kecewa
dan bersedih.”
Setelah berkata demikian, tiga putri ini mendekati Buddha
dan berkata dengan nada membujuk, “Yang Mulia Petapa, izinkan kami melayani-Mu,
bersujud dengan hormat di kaki-Mu dan memuaskan segala kebutuhan-Mu.” Buddha
mengabaikan mereka, dan tetap menikmati kebahagiaan Nibbàna dalam Phala
Samàpatti tanpa membuka mata-Nya.
Kemudian, tiga putri Màra berdiskusi, “Para laki-laki
memiliki selera yang berbeda. Beberapa menyukai perempuan yang muda dan halus;
yang lain menyukai perempuan yang sedang dalam tahap pertama kehidupannya. Yang
lain lagi menyukai perempuan yang sedang dalam tahap pertengahan. Jadi mari
kita menciptakan perempuan dalam berbagai usia dan memikat petapa ini.”
Demikianlah, masing-masing dari mereka menciptakan seratus
perempuan:
1. yang muda,
2. yang menjelang kehamilan,
3. yang telah melahirkan satu kali,
4. yang telah melahirkan dua kali,
5. yang dalam usia pertengahan,
6. yang dalam usia yang sangat dewasa dan matang, semuanya
cantik-cantik.
Kemudian mereka mendekati Buddha enam kali dan merayu
seperti sebelumnya, “Yang Mulia Petapa, izinkan kami melayani-Mu, bersujud
dengan hormat di kaki-Mu, dan memuaskan segala kebutuhan-Mu.” Sama seperti
sebelumnya, Buddha mengabaikan mereka, dan tetap menikmati kebahagiaan Nibbàna
dalam Phala Samàpatti tanpa membuka mata-Nya.
Kemudian Buddha berkata, “Pergilah, dewi. Melihat manfaat
apakah engkau mencoba menguji-Ku seperti ini? Perbuatan ini hendaknya dilakukan
kepada mereka yang belum terbebas dari nafsu (ràga), kebencian (dosa), dan
kebodohan (moha). Sedangkan Aku, Aku telah melenyapkan nafsu, Aku telah
melenyapkan kebencian, Aku telah melenyapkan kebodohan.” Kemudian Buddha
mengucapkan dua bait berikut seperti yang terdapat dalam Dhammapada:
Yassa jitam nàvajiyati
Jitamassa no yàti kosi loke
Tam Buddhaÿananta gocaram
Apadam kena padena nessatha
Yassa jàlini visattikà
tanhà natthi kuhin ci netave
tam Buddhaÿananta gocaram
apadam kena padena nessatha.
“Buddha, yang telah menaklukkan kotoran batin, tidak ada
lagi yang harus ditaklukkan. Tidak ada kotoran apa pun yang telah ditaklukkan
mengikuti Buddha. Buddha yang memiliki ketidakterbatasan pemahaman melalui
kebijaksanaan, yang tidak memiliki faktor-faktor kotoran seperti nafsu (ràga),
dengan cara apakah engkau akan membawa-Nya.
Buddha yang tidak memiliki faktor-faktor seperti kemelekatan
(tanhà), yang bagaikan
jerat yang dapat menariknya ke dalam kelahiran kembali, yang memiliki sifat
seperti racun yang ganas; atau yang dapat melekati segala hal. Buddha yang
memiliki ketidakterbatasan pemahaman melalui kebijaksanaan, yang tidak memiliki
faktor-faktor kotoran seperti nafsu, dengan cara apakah engkau akan
membawa-Nya.”
Setelah mengucapkan puji-pujian terhadap Buddha mereka
berkata, “Ayah kita berkata benar. Petapa Gotama ini, yang memiliki ciri-ciri
seperti Arahat dan Sugata, tidak dapat dibujuk dengan menggunakan nafsu,”
mereka kembali ke ayah mereka, Màra.
Sumber: jhodymaaf