"Pertama
Nafsu Indria (Kama) adalah bala tentaramu.
Kedua disebut Keengganan untuk Hidup (Arati).
Ketiga adalah Kelaparan dan Kehausan (Khuppipasa).
Kempat disebut Kelelahan (Tandi).
Kelima adalah Kemalasan dan Kelambanan (Thina-Mida).
Keenam disebut Ketakutan (Bhiru).
Ketujuh adalah Keragu-raguan (Vicikiccha),
Kedelapan
adalah Keangkuhan dan
Keras Kepala (Makkha-Tambha).
Kesembilan Keuntungan (Labha), Pujian (Siloka), Kehormatan (Sakkara),
Nama Baik (Yasa).
Kesepuluh adalah Memuji Diri Sendiri dan Mencela Orang Lain
(Attukkamasana-Paravambhana)."
(1) “Wahai Màra, ada objek-objek indria (vatthu-kàma),
bergerak atau tidak bergerak, dan kotoran indria (kilesa-kàma) yang adalah
kemelekatan terhadap objek-objek indria ini; dua bentuk indria ini menyebabkan
para perumah tangga menjadi bodoh sehingga tidak menyadari kebenaran.
Oleh karena itu, dua ini, vatthu-kàma dan kilesa-kàma adalah
bala tentara pertama. Ada para perumah tangga yang mati dalam keduniawian
(putthujjhana) di tengah-tengah harta duniawi (gihibhoga) karena mereka tidak
dapat melepaskannya meskipun mereka mengetahui jarangnya kemunculan seorang
Buddha (Buddh’uppàda dullabha) dan sulitnya menjalani hidup bertapa
(pabbajitabhàva dullabha).
Sebagai petapa, kebutuhan-kebutuhan seperti jubah, mangkuk, vihàra, taman, tempat tidur, dipan, selimut yang dapat dilekati dan dinikmati adalah merupakan materi-materi indria. Dan ada beberapa petapa yang mati dalam keduniawian di tengah-tengah harta benda indria milik vihàra dalam bentuk empat kebutuhan yaitu: tempat tinggal, pakaian, makanan, dan obat-obatan yang dipersembahkan oleh umat awam.Mereka meninggal dunia dengan cara demikian karena mereka tidak sanggup melepaskan harta benda tersebut meskipun mereka telah memelajari pada waktu penahbisan tentang bagaimana memanfaatkan bawah pohon sebagai tempat tinggal, jubah dari potongan-potongan kain, dàna makanan, dan menggunakan air seni sapi yang bau sebagai obat.
Para perumah tangga dan petapa ini meninggal dunia saat
bertemu dengan bala tentara pertama Màra yaitu indria atau Kàma. (Dikutip dari
terjemahan nissaya dari Paddhana Sutta oleh Ledi Sayadaw.)
(2) “Walaupun mereka telah menjalani kehidupan pertapaan
setelah bertekad melepaskan gilibhoga, beberapa cenderung terganggu atau
dirusak oleh keengganan untuk hidup (arati) dan ketidakpuasan
(ukkanthita) sehingga tidak merasa berbahagia menjadi petapa, tidak berbahagia
dalam belajar atau berlatih, tidak berbahagia dalam bertempat tinggal di
kesunyian hutan, dan tidak berbahagia dalam meditasi konsentrasi (samatha) dan
meditasi Pandangan Cerah (Vipassanà).
Oleh karena itu Arati dan ukkanthita merupakan bala tentara kedua Màra.
(Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kedua dari Màra ini.)
(3) “Walaupun beberapa petapa telah mengatasi bala tentara
kedua, sewaktu menjalani praktik menyiksa diri dhutanga, dan karena
aturan-aturan keras dari dhutanga yang memaksa mereka untuk makan makanan apa
pun yang tersedia dari segala jenis yang dicampur menjadi satu.
Beberapa tidak dapat makan dengan puas (seperti sapi yang
haus memuaskan dahaganya sewaktu berkubang di dalam air); dan tidak terpuaskan
sehingga menjadi lapar lagi, menderita bagaikan cacing tanah gila yang
menggelepar jika terkena garam. Karena dahaga dan lapar, khuppipàsa, mereka
menjadi tidak tertarik kepada pertapaan dan menjadi berkeinginan untuk
mengambil makanan sebanyak-banyaknya.
Khuppipàsa ini adalah bala tentara ketiga Màra.
(Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara ketiga dari Màra
ini.)
(4) “Ketika mereka menderita lapar dan haus, beberapa dari
mereka menjadi sangat lemah secara fisik dan batin dan menjadi sangat
ketakutan. Mereka menjadi kehilangan kepercayaan diri, malas, dan tidak
berbahagia. Karena kelelahan (tandi) mereka tidak mampu menjalani kehidupan
pertapaan mereka.
Tandi ini adalah bala tentara keempat dari Màra. (Beberapa
petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara keempat dari Màra ini.)
(5) “Karena tidak mengalami kemajuan dalam usaha
spiritualnya dan menjadi malas dan putus asa, mereka mulai merasa bosan dan
terjatuh dalam kekecewaan. Sejak saat kemalasan dan kelembaman (thina-middha)
berkembang, mereka mulai tidur-tiduran di dalam vihàra, berguling-guling dari
satu sisi ke sisi lain dan tidur menelungkup. Thina-middha ini adalah bala tentara kelima dari
Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kelima dari
Màra ini.)
(6) “Tidur yang berlebih-lebihan karena kemalasan
menyebabkan kebuntuan dalam meditasi mereka dan ketumpulan dalam pikiran.
Diliputi oleh kemelekatan mereka menjadi lemah dan bingung karena hal-hal
sepele ini dan itu. Karena rasa takut (bhiru) berkembang dalam keguncangan dari
ketakutan mereka; dan dengan hati yang bergetar mereka menganggap tunggul kayu
sebagai gajah, seekor macan sebagai raksana.
Bhiru ini adalah bala tentara keenam dari Màra.
(Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara keenam dari Màra
ini.)
(7) “Walaupun mereka berlatih meditasi setelah mengatasi
rasa takut dan memperoleh dorongan melalui latihan, jalan untuk mencapai Jhàna
dan mencapai Magga telah tenggelam. Karena keraguan (vicikicchà) berkembang dan
mereka tidak yakin apakah mereka telah berada pada Jalan atau tidak, berada
dalam praktik maupun teori.
Keraguan (vicikicchà) ini adalah bala tentara
ketujuh dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara
ketujuh dari Màra ini.)
(8) “Setelah berhasil melenyapkan vicikicchà, beberapa orang
terus menerus berusaha siang dan malam tanpa putus. Begitu tanda-tanda tidak
lazim muncul dalam meditasi mereka, mereka mulai menganggap tinggi diri mereka.
Karena keangkuhan dan keras
kepala (makkha-thamba) mereka berkembang, mereka tidak dapat
menerima pendapat orang lain; mereka merusak reputasi baik mereka; mereka tidak
menghormati saudara tua mereka; bersikap tidak sabar.
Makkha-Thamba ini adalah bala tentara kedelapan
dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kedelapan
dari Màra ini.)
(9) “Jika mereka meneruskan bermeditasi, setelah melenyapkan
makkha-thamba, mereka bahkan melihat lebih banyak tanda-tanda yang tidak lazim
dan menjadi bangga akan kemajuan yang mereka muncul sebagai berikut: mereka
menjadi gembira dan bersukacita karena memperoleh banyak hadiah; mereka gembira
dan bersukacita karena terkenal di empat penjuru.
mereka gembira dan bersukacita karena memperoleh hal-hal
menakjubkan yang tidak pernah dialami oleh orang lain; dan mereka gembira dan
bersukacita karena kemasyhuran dan pengikut yang banyak yang diperoleh melalui
khotbah-khotbah mengenai ajaran yang salah dan keangkuhan yang diperlihatkan
melalui keinginan jahat dan kemelekatan untuk meningkatkan keuntungan mereka.
Kelompok faktor-faktor Tanhà-Màna yaitu keuntungan (Labha),
Pujian (Siloka), Kehormatan
(Sakkara), Nama Baik (Yasa) adalah bala tentara kesembilan Màra.
(Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kesembilan dari Màra
ini.)
(10)“Beberapa petapa yang menghadapi sembilan kelompok di
atas mempraktikkan pemujaan dan penghormatan diri sendiri yaitu; mereka selalu
mencela (att’uukkamsa) dan merendahkan orang lain (paravambhana). Dua
ini, Attukkamasana-Paravambhana, adalah bala tentara kesepuluh Màra.
“Wahai Màra, Engkau yang dengan kekuatan menghalang-halangi
Pembebasan manusia, dewa, dan brahmà dari lingkaran penderitaan dan Engkau yang
memiliki kekuatan yang besar! Sepuluh faktor ini yaitu kamà, arati, dan
lain-lain, yang adalah pemimpin bala tentaramu. Wahai Màra, hatimu yang bukan
putih tetapi hitam legam, dan penuh dengan kemelekatan yang sangat kuat! Mereka
juga adalah senjatamu, meriammu, dan bahan peledakmu yang membunuh para petapa
dalam perjalanannya.
Para umat awam yang memiliki keyakinan, kemauan, usaha, dan
kebijaksanaan yang rendah dan memiliki sedikit dorongan untuk dapat mengalahkan
seranganmu dan menjauhkan diri darinya. Hanya mereka, para petualang sejati,
yang memiliki keyakinan, kemauan, usaha, dan kebijaksanaan yang besar, tidak
akan menganggap engkau bahkan sebagai sehelai rumput.
mereka dapat bertarung bertahan dan melarikan diri. Pelarian
diri ini setelah bertarung dan mempertahankan diri dapat mengantar menuju
kebahagiaan Jalan dan Buahnya, Nibbàna, dari ancaman pedang, tombak dan
senjata-senjata lainnya milik para pasukan dari sepuluh bala tentaramu, duhai
Màra .”